BERLIN - Sebuah gereja di Alexanderplatz, di kawasan Berlin, Jerman, yang ramai akan dibangun sebagai gedung doa bagi multi agama. Sudah dua tahun ini seorang pendeta Gereja Evangelis, rabi (Yahudi) dan imam (Muslim) melayani umat pada acara-acara khusus.
Ada ruang doa bagi Yahudi, Muslim dan Kristen yang berada dalam bangunan yang merupakan gabungan gereja, sinagog dan masjid di bawah satu atap. Bangunan itu di salah kawasan tersibuk di Berlin. Pengelola berharap bangunan itu menjadikan ibu kota Jerman itu tempat pertemuan budaya dunia dan hubungan internasional .
"Berlin adalah kota multi dimensi," kata Kandir Sanci, seorang imam dari House of Prayer and Learning (Rumah Doa dan Pembelajaran) yang terlibat dalam projek itu. "Anda berjumpa dengan banyak orang dari segala macam agama. Saya merasa bahwa kota ini digerakkan untuk mendukung berbagai agama dan membuat mereka merasa kerasan (seperti di rumah sendiri)."
Dalam beberapa bulan, House of Prayer and Learning akan meluncurkan kampanye yang bertujuan mengumpulkan dana sekitar 30 juta euro (atau setara Rp 480 miliar). Dan Anna Poeschel, juru bicara Pesekutuan Gereja Evangelis St. Peter - St . Maria, juga salah satu mitra dalam projek itu, mengatakan bahwa kampanye dimulai pada bulan Mei.
Tanpa Simbol
Rancangan arsitektur bangunan sudah disiapkan dari karya Wilfried Kuehn, seorang arsitek yang memenangi kompetisi desain dua tahun lalu. "Fokus utama kami adalah bahwa setiap agama memiliki ruang mereka sendiri dan tidak menjadi satu ruang," kata dia.
Kuehn merancang bangunan tidak memiliki menara gereja atau menara masjid. Ada tiga ruang terpisah untuk (masing-masing) agama yang terhubung dengan salah satu aula di tengah, yang secara arsitektus untuk menunjukkan fungsi sebagai jantung demokrasi masyarakat.
"Kami tidak ingin memuat simbolisme apapun pada bangunan," kata Kuehn. "Dari luar (bangunan) itu sangat sederhana dan murni, hampir terlihat kuno," kata dia menambahkan.
Birgit Meyer, seorang profesor studi agama-agama di Universitas Utrecht di Belanda, mengatakan bahwa yang paling menarik tentang projek ini adalah ruang sekuler yang netral di bagian tengah, yang dia bisa lihat sebagai dasar untuk saling penerimaan bersama.
"Jelas, ini adalah program yang bervisi modern tentang agama di abad ke-21," kata Meyer. "Jelas tidak semua kelompok agama dalam spektrum Kristen, Yahudi dan Islam di Berlin akan mendukung pandangan ini, dan menjadi bagian dari projek ini,” kata dia.
Situs Masa Lalu
Pendeta Gregor Hohberg dari Pesekutuan Gereja Evangelis St Peter - St.Mary, memulai projek bersama ini dengan Komunitas Yahudi Berlin, Abraham Geiger dari College of Potsdam, dan Forum Dialog Antarbudaya.
Lokasi gedung doa baru itu direncanakan dibangun di Petriplatz di atas reruntuhan bangunan gereja abad ke-13. Gedung gereja St. Peter merupakan properti milik Pesekutuan Gereja Evangelis St. Peter - St.Mary. Selama Perang Dunia II, bangunan itu rusak, kemudian diperbaiki dan dihancurkan oleh pemerintah Jerman Timur.
Selama beberapa dekade Petriplatz hanya menjadi tempat parkir yang sepi. Pada tahun 2007 ketika ada penggalian arkeologi di sana ditemukan sisa-sisa dari Coelln, kota tetangga dari Berlin kuno dan salah satu dari lima kota yang bersatu pada tahun 1709 di bawah kekuasaan Raja Frederick I dari Prusia, dan menjadi ibu kota.
Selama ini Petriplatz lebih sebagai hamparan bersemak dan dikelilingi pagar, tapi Hohberg mengatakan kelompok mereka telah memberikan kesempatan unik untuk menjadikannya bernapas dalam kehidupan baru yang terkait asal-usul kota abad pertengahan.
Kritik dan Holocaust
Beberapa pihak melontarkan kritik tentang rencana situs itu sebagi gedung doa baru. Masalahnya, selama perang, gereja itu menjadi tempat bagi satu pendeta Nazi yang paling radikal di Berlin, Walter Hoff.
Ketika menjabat sebagai pendeta tentara, Walter Hoff, menggiring ratusan orang Yahudi Eropa Timur menuju kematian mereka. Para kritikus mengatakan bahwa House of Prayer and Learning tidak melakukan hal yang cukup untuk mengingat peran signifikan dari situs itu dalam Holocaust (pembantaian orang Yahudi).
"Bagaimana bisa ada dialog jujur ​​di antara ketiga agama ketika satu agama menjadi tempat ketidak-jujur ​​tentang masa lalunya sendiri?" Tanya Susannah Heschel, profesor Studi Yahudi di Dartmouth College, dan seorang sarjana hubungan Kristen dan Yahudi di Jerman abad ke-19 dan ke-20.
Koneksi situs itu (dengan masa lalu) dan Hoff perlu diidentifikasi secara jelas dalam ruang doa yang baru, serta dalam literatur promosi dan program pendidikan, kata Heschel .
Poeschel, juru bicara gereja, mengatakan bahwa pameran di Rumah Doa dan Pembelajaran akan membahas koeksistensi agama di Berlin, serta hubungan sejarah situs itu dengan Reich Ketiga.
Kuehn juga mengakui pentingnya mengatasi masa lalu, tapi dia bersyukur bahwa panitia juga mengelola masa depan. "Mereka benar-benar bertanya bagaimana kita dapat mengatasi orang-orang non religius, dunia sekuler," kata Kuehn. "Bagaimana kita dapat mengatasi orang-orang yang tidak pergi ke gereja, tidak berdoa, tidak pergi ke sinagoga. Tapi mungkin tertarik pada pertanyaan tentang iman dan masyarakat."
Pelaksana projek juga merencanakan untuk menggelar acara tahunan pada tanggal 14 April bersamaan dengan ulang tahun kota Berlin menandai tahun 1783 di mana Frederick Agung mempromosikan toleransi beragama.
"Jika kita mengajukan pertanyaan politik: Apa yang bisa dilakukan... adalah menciptakan kondisi untuk debat secara damai, tetapi tetap sebuah perdebatan," kata Kuehn. Dan para penggagas berharap akan menjadi tempat di mana agama yang berbeda bertemu untuk merenungkan kesamaan mereka sendiri. (dw.de / huffingtonpost.com)
Sumber : www.satuharapan.com | http://dw.de/p/16S8T